Perusahaan Pelayaran
Pengertian
Perusahaan Perkapalan terdapat
dalam pasal 323 sampai 340f KUHD, ada 24 buah
pasal. Perusahaan Pelayaran (Rederij) adalah suatu
badan yang menjalankan perusahaan dengan cara
mengoperasikan kapal atau usaha lain yang
erat hubungannya dengan kapal.
1). Syarat Perusahaan Pelayaran
Dalam Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1969
tentang Perhubungan laut yang berisi ketentuan
mengenai perusahaan pelayaran harus memenuhi syarat-syarat:
merupakan perusahaan
pelayaran milik negara.
merupakan perusahaan
milik pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
merupakan badan hukum
berbentuk perseroan terbatas.
. memiliki
satuan-satuan kapal lebih dari satu unit
dengan jumlah minimal 3.000 m3 isi kotor
dengan memperhatikan syarat-syarat teknis/nautus perhitungan untung
rugi.
tersedianya modal
kerja yang cukup untuk kelancaran usaha
. melaksanakan
kebijaksanaan angkutan laut nusantara
Bila persyaratan
sebagaimana tersebut diatas sudah dipenuhi, maka
perusahaan pelayaran dikenai kewajiban-kewajiban antara lain:
melaksanakan
ketentuan yang ditetapkan dalam
surat perjanjian.
mengumumkan kepada umum
mengenai peraturan perjanjian kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan.
menerima pengangkutan
penumpang, barang, hewan, dan pos satu dan yang lain sesuai dengan persyaratan
teknis kapal.
memberikan prioritas
kepada pengangkutan barang-barang sandang pangan lain sesuai
dengan persyaratan teknis bahan- bahan industri dan eksport.
memberitahukan
kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri
Perhubungan, tarif pengangkutan yang dipergunakan,
manifest dan keanggotaan Conference atau bentuk kerjasama lainnya. Dan
lain-lain.
2). Jenis-jenis Pelayaran
Menurut Pasal 5
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969,
jenis-jenis pelayaran dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
(1). Pelayaran
dalam negeri
a.
Pelayaran nusantara, yaitu pelayaran antar pulau
antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan.
b. Pelayaran lokal atau
pelayaran jurusan tetap, yaitu bertugas menunjang kegiatan pelayaran nusantara
dan pelayaran luar negeri, dengan menggunakan kapal-kapal di bawah tonase
175 BRT.
c.
Pelayaran rakyat, yaitu pelayaran
nusantara dengan menggunakan perahu layar tradisional
d. Pelayaran penundaan laut,
yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkang-tongkang yang
ditarik oleh kapal- kapal tunda (tugboat).
(2). Pelayaran
luar negeri
a.
Pelayaran samudra dekat, yaitu pelayaran ke
pelabuhan- pelabuhan negara tetangga yang tidak
lebih dari 3000 mil laut dari pelabuhan
terluar Indonesia (tanpa memandang jurusan).
b. Pelayaran samudra, yaitu
pelayaran dari dan ke luar negeri yang bukan pelayaran samudra dekat.
(3). Pelayaran
khusus, yaitu merupakan pelayaran dalam dan
luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal
pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil
industri, pertambangan dan hasil- hasil
usaha lainnya yang bersifat khusus. Misalnya:
minyak bumi, batu bara.
Nahkoda
Ketentuan Pasal 341 dan Pasal
377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah Pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga
kerja yang telah menandatangani perjanjian kerja
laut dengan perusahaan pelayaran
sebagai nahkoda, yang memenuhi syarat dan tercantum dalam sijil anak
buah
kapal sebagai
nahkoda
ditandatangani
dengan mutasi dari
perusahaan dan pencantuman namanya
dalam surat laut. (Djoko
Triyanto, 2005:32). Dalam menjalankan
tugasnya sehari-hari diatas kapal mempunyai
jabatan penting:
1). Nahkoda sebagai Pemimpin kapal
Tugasnya selaku pemimpin
kapal, mengandung arti nahkoda merupakan pemimpin tertinggi
dalam mengelola, melayarkan dan mengarahkan kapal
tersebut. Demikian pula, setiap anak buah kapal akan turun ke
darat bila kapal sedang berlabuh, maka
ia harus meminta ijin lebih dahulu kepada
nahkoda, dan jika ijin tersebut ditolaknya,
maka nahkoda harus menulis dalam buku
harian kapal dengan alasan yang cukup
sebagaimana ditentukan pada pasal 385 KUHD.
Selain itu nahkoda harus melayarkan
kapalnya dari suatu tempat ke tempat lain
dengan aman, tepat waktu, praktis, dan
selamat.
2). Nahkoda sebagai pemegang kewibawaan umum
·
kewibawaan terhadap
semua pelayar, artinya : semua orang yang
berada di kapal, wajib menuruti perintah-
perintah nahkoda guna kepentingan
keselamatan atau ketertiban umum.
·
kewibawaan disiplin
terhadap anak buah kapal, artinya :
para awak kapal berada
dibawah perintah nahkoda.
3). Nahkoda sebagai jaksa atau abdi hukum.
Di tengah laut
nahkoda wajib menyelidiki atau mengusut kejahatan
yang terjadi di dalam kapalnya :
·
mengumpulkan
bahan-bahan mengenai peristiwa yang terjadi.
·
menyita barang-barang yang
dipakai dalam peristiwa itu
·
mendengar para
tertuduh dan saksi dan membuat berita acara
keterangannya.
·
mengambil
tindakan terhadap
tertuduh, menurut
kebutuhan. Misal: mengasingkannya
( menutup ) di dalam kamar tutupan.
·
menyerahkan
tertuduh dengan bahan-bahannya kepada
Pengadilan negeri di pelabuhan pertama yang disinggahi. Nahkoda wajib pula
mencatat peristiwanya dan tindakan- tindakan yang telah diambilnya di dalam
daftar hukuman.
4). Nahkoda sebagai pegawai catatan sipil
Apabila selama
dalam pelayaran ada seseorang anak lahir
atau seseorang meninggal di kapal, nahkoda harus membuatkan akta- akta
pencatatan sipil yang bersangkutan di dalam buku harian kapal.
a. Pada kelahiran
Apabila ada seorang anak
lahir, nahkoda harus membuat akta kelahiran di dalam buku harian kapal, dalam
waktu 24 jam, dengan dihadiri oleh si ayah dan dua orang saksi. b. Pada
Kematian Apabila ada seorang meninggal dunia di kapal, nahkoda harus
membuat akta kematian juga dalam waktu 24
jam dengan dihadiri pula oleh dua orang
saksi. Sebab-sebab kematian tidak boleh disebut
dalam akta itu, tetapi nahkoda wajib
mencatat di dalam buku hariannya. Jika ada
seseorang yang jatuh di laut maka nahkoda
tidak selalu membuat akta
kematian, berhubungan dengan kemungkinan si
korban akan mencapai kapal lain atau
daratan. Dalam hal sebaliknya, nahkoda harus
membuat akta tersebut serta menyebutkannya dengan jelas di dalam buku
harian kapal, mengenai tempat dimana
kecelakaan itu terjadi, keadaan cuaca, berapa
lama telah dicari, ada kapal lain di dekatnya, dan
sebagainya.
5). Nahkoda sebagai notaris
Dalam pasal 947, 950 dan 952
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa, bilamana
nahkoda dapat bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat wasiat seseorang
di atas kapal. Surat warisan itu kemudian ditandatangani oleh pewaris yang ada,
nahkoda dan dua orang saksi. Pembuatan surat wasiat tersebut
didasarkan atas keadaan yang tidak
dimungkinkan si pewaris menemui
pejabat yang berwenang.Surat wasiat hanyalah
berlaku sementara waktu saja, sebab apabila
si pewaris itu meninggal dunia lebih
dari 6 bulan setelah pembuatan surat wasiat itu, maka
surat itu tidak berlaku lagi.
Pengusaha Kapal
Pengusaha kapal
(Reder) adalah seseorang yang mengusahakan kapal
untuk pelayaran di laut dengan melakukan
sendiri pelayaran itu, ataupun menyuruh
melakukannya oleh seorang nahkoda yang
bekerja padanya. (Pasal 320
Kitab Undang-undang Hukum
Dagang). Pada lazimnya seorang pengusaha
dalam menjalankan usahanya mempunyai tujuan untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnnya dengan biaya dan tenaga
atau modal yang sekecil-kecilnya. Dalam
praktik sering terjadi pemilik kapal menyewakan kapalnya pada orang
lain yang akan bertindak sebagai pengusaha kapal, atau dapat juga menjalankan
sendiri kapalnya dan ia bertindak sebagai nahkoda.
Awak kapal atau anak buah
kapal
Anak buah kapal adalah semua
orang yang berada dan bekerja di kapal kecuali nahkoda, baik
sebagai perwira , bawahan (kelasi) atau
supercargo yang tercantum dalam sijil
anak buah kapal dan telah
menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran.
Adapun syarat-syarat
wajib yang harus dipenuhi untuk dapat
bekerja sebagai anak buah kapal sesuai
dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000
tentang Kepelautan, antara lain:
·
memiliki
sertifikat keahlian pelaut dan/
atau sertifikat keterampilan pelaut.
·
berumur sekurang-kurangnya 18
tahun
·
sehat jasmani
dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu.
·
Disijl
Hak dan Kewajiban Anak Buah Kapal
Ø Hak – hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak
buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama, walaupun ada perbedaan
sedikit namun tidak begitu berarti. Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3
Peraturan Pemerintah No.7 tahun
2000 tentang Kepelautan
antara lain:
1). Hak atas Upah
Besarnya upah
yang diperoleh anak buah kapal didasarkan
atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, dan tidak
bertentangan dengan Peraturan gaji pelaut. Berdasarkan
Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7
tahun 2000, Upah tersebut didasarkan atas:
·
8 jam kerja setiap hari b. 44
jam perminggu
·
Istirahat sedikitnya 10 jam
dalam jangka waktu 24 jam d. Libur sehari setiap minggu
·
Ditambah hari–hari libur
resmi
Ketentuan di atas
tidak berlaku bagi pelaut muda, artinya
mereka berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun tidak boleh bekerja melebihi
8 jam sehari dan 40 jam seminggu
serta tidak boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali
dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian
kerja laut upah yang dimaksud tidak termasuk tunjangan
atas upah lembur atau premi sebagaimana
diatur dalam Pasal: 402, 409, dan 415
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Biasanya jumlah upah yang diterima anak
buah kapal paling sedikit adalah yang sesuai dengan
yang tertuang dalam perjanjian kerja laut,
kecuali upah yang dipotong untuk hal-hal
yang sudah disetujui oleh anak buah kapal
tersebut atau pemotongan yang didasarkan
pada hukum yang
berlaku. Pengaturan mengenai pemotongan
tersebut menurut Pasal 1602r Kitab
Undang–undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut:
·
Ganti rugi yang harus dibayar
·
Denda–denda yang harus
dibayar kepada perusahaan yang harus diberi tanda terima
oleh perusahaan (Pasal 1601s KUHPerdata)
·
Iuran untuk dana
(Pasal 1601s Kitab Undang–Undang
·
Hukum Perdata).
·
Sewa rumah atau lain–lain
yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinas.
·
Uang Muka (Persekot) atas
upah yang telah diterimanya.
·
Harga pembelian barang–barang
yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinasnya.
·
Kelebihan pembayaran
upah-upah yang lalu.
·
Biaya pengobatan
yang harus dibayar oleh anak buah kapal
(Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
·
Istri atau anggota keluarga
lainnya sampai dengan keempat dengan jumlah maksimum 2/3
dari upah (Pasal 444-445
Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
Selain,
Pemotongan-pemotongan tersebut
diatas, maka besarnya upah anak buah
kapal juga dapat berkurang disebabkan, antara
lain:
·
Denda oleh
nahkoda sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
·
Pengurangan upah
karena sakit yang sampai membuat anak buah kapal
tidak dapat bekerja
·
Perjalanan pelayaran
terputus.
·
Ikatan kerja terputus karena
alasan–alasan yang sah.
Selain itu
juga harus diperhatikan bahwa upah anak
buah kapal dapat bertambah besarnya karena:
·
Pengganti libur
yang seharusnya dinikmati anak buah kapal,
akan tetapi tidak diambilnya (Pasal 409
dan 415
·
KUH Dagang) atau atas
permintaan pengusaha angkutan perairan paling sedikit 20
hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 tahun bekerja
akan mendapatkan imbalan upah sejumlah cuti
yang tidak dinikmati (Pasal
24
·
Peraturan Pemerintah)
·
Pembayaran waktu tambahan
pelayaran, jika perjanjian kerja laut untuk suatu pelayaran
karena suatu kerusakan, sehingga terpaksa berhenti di
pelabuhan darurat (Pasal
·
423 KUH Dagang)
·
Pembayaran kerja
lembur, yaitu jam kerja melebihi jam kerja
wajib. Khusus untuk upah lembur hari
minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa.
·
Menurut Pasal 22
Peraturan Pemerintah No.7 tentang Kepelautan,
Perhitungan upah lembur sebagai berikut: Rumus = Upah minimum x
1,25
·
190
·
d.
Pembayaran istimewa, karena
mengangkut muatan berbahaya, menunda
menyelamatkan kapal lain atau
mengangkut muatan di daerah
yang sedang perang, kecuali untuk
tugas negara (Pasal 452f Kitab Undang-
undang Hukum Dagang)
·
Mengemban tugas
yang lebih tinggi yang tidak bersifat
insidentil, seperti Mualim II (Pasal 443
Kitab Undang- undang Hukum Dagang).
·
Kenaikan upah minimum yang
ditetapkan oleh negara.
·
Kelambatan pembayaran
upah dari waktu biasa (Pasal
1801/ dan 1602n Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan
pelayaran (Pasal 1602q Kitab Undang–undang Hukum Perdata dan
Pasal 452c Kitab
Undang-undang Hukum Dagang)
Tidak diberikan
makanan sebagaimana ditetapkan yang menjadi hak anak
buah kapal ( Pasal 436 dan 437 Kitab Undang–undang Hukum Dagang)
2). Hak atas tempat tinggal dan makan
Peraturan mengenai hak tempat
tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang dan Pasal
13 Schepelingen Ongevalien
(S.O) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut, anak buah kapal berhak atas
tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak
atas makan yang pantas yaitu cukup untuk
dan dihidangkan dengan baik dan menu yang
cukup bervariasi setiap hari. Ketentuan ini
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang
Kepelautan pasal25, yaitu:
·
pengusaha atau
perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan
makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap
pelayaran bagi setiap anak buah kapal.
·
makanan harus memenuhi
jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3.600 kalori
perhari yang diperlukan anak buah
kapal agar tetap sehat dalam
melakukan tugasnya.
·
air tawar harus tetap tersedia
di kapal dengan cukup dan memenuhi standar
kesehatan.
Apabila ketentuan
diatas dilanggar maka dapat dikatakan
sebagai pelanggaran hukum, dimana
anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan
terhadap perusahaan pelayaran untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian
yang diderita.
3). Hak Cuti
Ketentuan yang mengatur hak
cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang, yang
prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan
pada umumnya. Pasal 409 KUH Dagang menyebutkan:
“ Bilamana
nahkoda atau perwira kapal telah bekerja selama setahun
berturut-turut / terus menerus, maka mereka
berhak atas cuti selama 14 hari atau
bila dikehendaki pengusaha pelayaran bisa
dilakukan dua kali, masing-masing delapan hari.
Ini dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda” Hak
cuti ini gugur bila diajukan sebelum
satu tahun masa kerjanya berakhir. Dan hak
ini berlaku untuk perjanjian kerja laut
yang didasarkan atas pelayaran.
Pasal 415 KUH Dagang
menyebutkan:
“Bilamana anak
buah kapal telah bekerja selama setahun
terus menerus sedangkan perjanjian
kerja lautnya bukan perjanjian kerja laut
pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja
dengan upah penuh”. 4). Hak waktu sakit atau kecelakaan
Pengertian sakit dalam
perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain meliputi:
(1). Sakit Biasa
Seorang anak buah kapal
apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a. Pengobatan
sampai sembuh, akan tetapi paling lama
52 minggu bilamana diturunkan dalam kapal, demikian juga bila
dia tetap berada di kapal
berhak mendapatkan pengobatan sampai sembuh (Pasal 416 KUH
Dagang)
b. Pengangkutan cuma-cuma
kerumah sakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan
ke tempat ditandatanganinya perjanjian kerja laut (Pasal 416 KUH Dagang)
Selama anak buah kapal sakit
atau kecelakaan ia berhak atas upah sebesar 80% dengan
syarat tidak lebih dari 28 minggu
(Pasal
416a
KUH Dagang), dan jaminan
diperoleh disamping biaya perawatan sampai
sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah kapal
mengadakan perjanjian kerja laut untuk
waktu paling sedikit satu tahun atau bekerja
terus menerus selama paling sedikit satu setengah
tahun.
Demikian juga sebaliknya,
Pasal 416b Kitab Undang-undang hukum dagang menentukan bahwa jika anak buah
kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya
mendapat perawatan sampai sembuh, dan upah yang
diterima diperhitungkan dengan interval waktu tidak kurang dari 4
(empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua puluh enam) minggu.
Jaminan–jaminan dalam
hal perawatan dapat ditolak oleh perusahaan
pelayaran, apabila:
·
Anak buah kapal menolak
menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri ke dokter.
·
Anak
buah kapal tidak menggunakan kesempatan pengobatan
Menurut ketentuan Pasal 416f
Kitab undang-undang Hukum Dagang, tunjangan atau upah
dapat tidak dibayar oleh perusahaan pelayaran
atau dikurangi jumlahnya bila sakitnya atau
kecelakaan yang terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau akibat
kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.
(2). Sakit karena kecelakaan
Berdasarkan Pasal 1602
KUHPerdata, Anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak
atas:
·
Tuntutan
ganti rugi bila terbukti
kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak
perusahaan pelayaran
·
Jika kecelakaan
menimpa anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya
diberikan kepada ahli warisnya
·
Penggantian
akibat kecelakaan ditambah dengan hak-hak atas
perawatan.
(3). Kapal tenggelam
Pada
umumnya hampir semua
kapal yang
beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan pada P & I
Club (Protection and Indernity
Club). Jaminan yang diberikan kepada
anak buah kapal disesuaikan dengan
peraturan perundang– undangan negara mengenai
Anak Buah Kapal yang bersangkutan.
Jadi jika
kapal
tenggelam tidak akan
memberatkan pihak perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g Kitab Undang-undang
Hukum Dagang, bahwa perusahaan wajib memberikan
ganti rugi kepada anak buah kapal berupa:
·
Jumlah upah
sampai dia tiba kembali di tempat
dimana perjanjian kerja laut ditandatangani.
·
Jumlah upah
selama anak buah kapal tersebut belum
bekerja paling lama 2 (dua) bulan.
·
Ganti rugi akibat
kelalaian perusahaan pelayaran berupa barang
milik anak buah kapal dan kerugian
lain ( Pasal
·
1602w Kitab undang–undang
hukum Perdata).
·
Bila anak
buah kapal meninggal dunia, maka perusahaan
pelayaran berkewajiban menanggung biaya penguburan
atau pembuangan jenazah ke
laut (Pasal 440 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang)
Kewajiban Anak Buah kapal
·
Bekerja sekuat
tenaga, wajib mengerjakan segala sesuatu
yang diperintah oleh nahkoda.
·
Tidak boleh
membawa atau memiliki minuman keras,
membawa barang terlarang, senjata di kapal
tanpa izin nahkoda ( Pasal 391 )
Kitab Undang-undang Hukum
Dagang).
·
Keluar dari kapal
selalu dengan ijin nahkoda dan pulang
kembali tidak terlambat (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·
Wajib
membantu memberikan pertolongan
dalam penyelamatan kapal dan muatan dengan
menerima upah tambahan (Pasal 452/c Kitab
Undang-undang Hukum Dagang)
·
Menyediakan
diri untuk nahkoda selama
3 hari setelah habis kontraknya,
untuk kepentingan membuat kisah kapal
(Pasal 452/b Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·
Taat kepada
atasan, teristemewa menjalankan
perintah-perintah nahkoda (Pasal 384 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
Perjanjian Kerja Laut
Perjanjian kerja
laut terdapat dalam Pasal 395 Kitab
Undang- undang Hukum Dagang pada title ke
empat Bagian pertama. Jika dibandingkan dengan
perjanjian kerja pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1601a Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, maka akan tampak bahwa perjanjian kerja laut
merupakan perjanjian perburuhan yang bersifat
khusus. Pasal 1601a Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menyebutkan : “Persetujuan
perburuhan adalah persetujuan dengan
mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan
dirinya untuk di bawah perintahnya pihak
yang lain, si majikan untuk sesuatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah”. Sedangkan, Pengertian Perjanjian kerja
laut juga diatur dalam Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 395 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang menyebutkan:
“
Perjanjian kerja laut adalah perjanjian yang
dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang di
pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk
bertindak di bawah pengusaha
itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah,
sebagai nahkoda atau anak kapal.”
Sedangkan menurut Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
2000 tentang Kepelautan,
hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat
yaitu perjanjian kerja
laut adalah perjanjian kerja
perseorangan yang ditandatangani oleh
pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di perairan.
Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai Perjanjian
kerja yang dibuat antara seorang majikan
atau pengusaha kapal dengan seseorang yang
mengikatkan diri untuk bekerja padanya, baik
nahkoda atau anak kapal dengan menerima
upah dan perjanjian tersebut harus dibuat
atau ditandatangani dihadapan
pejabat yang ditunjuk pemerintah serta
pembuatannya harus pula menjadi tanggung jawab
perusahaan pelayaran. Maksud dari perjanjian
kerja dibuat di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah
(Administratur pelabuhan) adalah agar
pembuatan akta perjanjian
tersebut harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak
atau tanpa adanya paksaan dan dalam perjanjian tidak
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan yang berlaku. Dengan
demikian dalam pelaksanaannya administratur pelabuhan harus memberitahu yang
seterang-terangnya.
Melakukan perjanjian kerja
laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau perwira kapal harus dibuat
secara tertulis, supaya dianggap sah (berlaku) dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak (
Pasal 399 )
Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang ).
Melakukan perjanjian kerja
laut antara pengusaha kapal dengan anak kapal harus dibuat
dihadapan anak kapal, dihadapan syahbandar atau
pegawai yang berwajib dan ditandatangani
olehnya, pengusaha kapal dan anak buah
kapal tersebut (Pasal 400 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang).
Di samping syarat tertulis
perjanjian kerja laut harus memenuhi pula ketentuan yang
diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, antara lain:
1). Adanya kesepakatan atau
kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak.
2). Masing-masing mempunyai
kecakapan untuk bertindak.
3). Persetujuan mengenai atau
mengandung suatu hak tertentu.
4). Isi
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Bentuk Perjanjian Kerja laut
Perjanjian kerja laut dapat
dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja
(Pasal 398 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang):
·
Perjanjian kerja
laut yang diselenggarakan untuk waktu tertentu
atau perjanjian kerja laut periode, misal:
untuk 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun, dan
lain- lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara tegas
menegenai lamanya waktu untuk saling
mengikatkan diri, dimana masing-masing
pihak mempunyai hak dan kewajiban.
·
Perjanjian kerja laut yang
diselenggarakan untuk waktu tidak tertentu.. Dalam perjanjian ini
hubungan kerja berlaku terus sampai ada
pengakhiran oleh para pihak atau sebaliknya
hubungan kerja berakhir dalam waktu dekat
(besok), besok lusa dan sebagainya jika
memang salah satu pihak ataupun para pihak
menghendakinya.
·
Perjanjian kerja
laut yang diselenggarakan untuk satu atau
beberapa perjalanan atau trip adalah perjanjian
kerja laut yang diselenggarakan berdasarkan
pelayaran yang diadakan perusahaan pelayaran dari suatu
pelabuhan ke pelabuhan lain.
Kemudian jika ditinjau dari
sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang, yaitu
menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
yaitu:
·
Perjanjian kerja laut untuk
nahkoda
·
Perjanjian kerja laut untuk
anak buah kapal.
Dilihat dari
pihak yang mengikatkan diri, perjanjian
kerja laut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
·
Perjanjian
kerja laut pribadi atau
perseorangan, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara
seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran.
·
Perjanjian kerja laut
kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat
antara
perusahaan
pelayaran atau gabungan
perusahaan pelayaran dengan gabungan tenaga kerja
(anak buah kapal), dengan
syarat masing-masing pihak harus
berbentuk badan hukum.
Isi Perjanjian kerja laut
Isi dari
Perjanjian kerja laut (Pasal 401 Kitab
Undang-undang
Hukum Dagang) antara lain:
v Nama lengkap, tanggal lahir
dan tempat kelahiran dari anak kapal.
v Tempat dan tanggal dilakukan perjanjian.
c. Dikapal mana ia akan bekerja
v Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh.
v Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga
kerja di kapal, baik sebagai nahkoda atau anak buah kapal.
v f.
Pernyataan yang berisi: apakah
tenaga kerja tersebut mengikatkan diri untuk
tugas-tugas lain selain tugas di kapal.
v g. Nama
syahbandar yang menyaksikan
atau mengesahkan perjanjian kerja laut itu.
v h. Gaji atau upah dan jaminan-jaminan
lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh Undang-undang.
v Saat perjanjian kerja laut itu dimulai.
v j. Pernyataan yang berisi:
Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan hari libur atau cuti
.
v k.
Tanda tangan tenaga kerja,
pengusaha pelayaran dan syahbandar
·
a). Tanggal
ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
·
b).
Perihal pengakhiran hubungan kerja.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
mengenai penerapan Hukum Pelayaran dalam Perjanjian Kerja Laut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Kita mengetahui Siapa saja pihak – pihak yang terlibat dalam Pelayaran dan apa
Hak serta Kewajiban anak buah kapal?
2.
Kita mengetahui pengertian, syarat, bentuk dan isi dari Perjanjian Kerja Laut (
PKL )
1.2. Saran
Berdasarkan simpulan hasil
penelitian, saran yang perlu dikemukakan
adalah sebagai berikut:
1.
Pihak tenaga kerja dikapal
atau anak buah kapal
(ABK) seharusnya semakin menumbuhkan
kesadaran hukum yang tinggi pada
diri sendiri sehingga
pelanggaran-pelanggaran diatas kapal tidak
akan terjadi. Dengan adanya
kesadaran hukum yang tinggi maka kinerja tenaga kerja tidak terganggu
sehingga dapat terwujud situasi kerja yang saling menghormati, menghargai
antara pihak perusahaan dan pihak tenaga
kerja atau anak buah kapal (ABK).
2.
Pihak Perusahaan, seharusnya pihak perusahaan lebih meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dikapal atau
anak buah kapal (ABK) dan keluarganya.
Salah satunya dengan mengingat resiko
bahaya dalam berlayar dan jauh
dari keluarga. Dan harusnya pihak perusahaan
lebih menaikkan upah kerja. Walaupun PT.PELNI merupakan BUMN
harusnya upah tidak disamakan dengan Pegawai Negeri biasa.
3.
Pihak Pemerintah, hendaknya dapat merespon dan lebih memperhatikan
nasib para tenaga kerja
baik yang didarat maupun yang
dilaut. Dan lebih aktif
untuk mengadakan pengawasan agar tenaga
kerja dapat memperoleh hak mereka sesuai dengan
sifat pekerjaan yang mereka lakukan. Dan lebih memperhatikan terhadap
segala permasalahan yang dialami oleh Perusahaan
yang bergerak dibidang jasa transportasi
laut maupun darat.